Rang Undang-Undang Data: Momen Hak Cipta

Era digital telah membawa peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk inovasi, terutama dalam bidang kecerdasan buatan (AI). Namun, kemajuan ini juga menimbulkan pertanyaan penting tentang batasan etika dan hukum penggunaan data, terutama mengenai materi berhak cipta. Perdebatan seputar penggunaan buku bajakan untuk melatih model AI telah mencapai titik didih, menuntut penilaian ulang undang-undang hak cipta yang ada dan sikap yang lebih tegas terhadap pelanggaran kekayaan intelektual.

Isu Utama: Penggunaan Tanpa Izin Materi Berhak Cipta

Inti dari masalah ini terletak pada penggunaan buku berhak cipta tanpa izin untuk melatih model AI. Praktik ini, yang diduga dilakukan oleh raksasa teknologi seperti Meta, telah memicu kemarahan di antara penulis dan penerbit yang merasa hak mereka dilanggar demi keuntungan komersial. Mark Price, mantan Direktur Pelaksana Waitrose, telah menjadi kritikus vokal praktik ini, secara langsung menanggapi CEO Meta Mark Zuckerberg dan mempertanyakan justifikasi perusahaan untuk mengeksploitasi karya-karya penulis Inggris tanpa izin.

Tim hukum Price sedang menjajaki berbagai cara untuk melakukan tindakan hukum terhadap Meta di Inggris. Salah satu pendekatannya adalah menentukan apakah buku-buku yang bersumber dari basis data bajakan LibGen telah "dicerna dan diproses" di Inggris. Jika terbukti, ini dapat menetapkan kasus yang jelas terhadap Meta berdasarkan undang-undang hak cipta Inggris.

Memeriksa Output: Kunci untuk Membuktikan Pelanggaran

Pendekatan lain, mungkin lebih menarik, berfokus pada menganalisis konten yang dihasilkan oleh model AI Meta, Llama. Price berpendapat bahwa jika Llama menghasilkan konten yang sangat mirip dengan bagian dari buku-buku yang digunakan untuk melatihnya, ini dapat berfungsi sebagai bukti kuat pelanggaran hak cipta. Alur penyelidikan ini memiliki kemiripan dengan kasus Getty Images yang sedang berlangsung terhadap Stability AI, yang berpusat pada dugaan reproduksi gambar berhak cipta oleh model Stable Diffusion Stability AI.

Kasus Getty Images, yang dijadwalkan untuk persidangan pada Juni 2025, dapat menetapkan preseden signifikan untuk sengketa hak cipta di masa depan yang melibatkan konten yang dihasilkan AI. Para penggugat dalam kasus Getty Images berpendapat bahwa Stable Diffusion mereproduksi sebagian besar gambar berhak cipta yang digunakan selama pelatihannya. Jika Getty Images menang, itu dapat memberanikan penulis dan penerbit untuk melakukan tindakan hukum serupa terhadap perusahaan seperti Meta.

Meta telah membela praktiknya dengan berpendapat bahwa model AI-nya tidak mereproduksi karya berhak cipta, tetapi hanya menggunakannya untuk tujuan pelatihan. Perusahaan lebih lanjut mengklaim bahwa penulis tidak menderita kerugian ekonomi sebagai akibatnya. Namun, jika Getty Images dapat menunjukkan bahwa model AI sebenarnya dapat mereproduksi konten berhak cipta, itu akan merusak pembelaan Meta dan mengekspos perusahaan terhadap kewajiban hukum yang signifikan.

Perjanjian Lisensi: Solusi Potensial?

Kompleksitas hak cipta di era AI semakin disorot oleh perjanjian lisensi antara penerbit dan perusahaan AI. Misalnya, HarperCollins dilaporkan telah membuat pengaturan lisensi dengan Microsoft yang mencakup batasan pada jumlah buku yang dapat diakses sebagai bagian dari perjanjian. Perjanjian semacam itu, sambil menawarkan jalur potensial untuk memberikan kompensasi kepada pemegang hak cipta, juga menimbulkan pertanyaan tentang ruang lingkup dan batasan penggunaan wajar dalam pelatihan AI.

Tidak adanya perjanjian serupa antara Meta dan pemegang hak membuat perusahaan rentan terhadap tantangan hukum. Seorang mantan pengacara Meta bahkan mengakui bahwa konsekuensi yang tidak diinginkan dari sistem AI yang berpotensi melanggar hak cipta dapat menimbulkan ancaman signifikan bagi perusahaan di pengadilan.

Rang Undang-Undang Data (Penggunaan dan Akses): Peluang Legislatif

Rang Undang-Undang Data (Penggunaan dan Akses) Inggris menghadirkan peluang penting untuk memperkuat undang-undang hak cipta dan mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh AI. Amandemen terhadap RUU tersebut, yang akan diperdebatkan di House of Commons, bertujuan untuk memastikan kepatuhan, transparansi, dan penegakan peraturan hak cipta. Jika disetujui, amandemen ini dapat mengekang upaya pemerintah Inggris untuk memberikan pengecualian kepada perusahaan teknologi terkait penggunaan materi yang diterbitkan untuk pelatihan AI. Ini adalah sikap yang diyakini banyak orang seharusnya diadopsi pemerintah sejak awal.

Tom West, CEO Publishers’ Licensing Services, berpendapat bahwa RUU Data (Penggunaan dan Akses) dapat "mempercepat" lisensi konten. Dia menekankan bahwa seruan untuk akuntabilitas bukanlah anti-teknologi atau anti-inovasi. Sebaliknya, ini mencerminkan pengakuan bahwa akurasi dan kualitas informasi adalah yang terpenting karena AI generatif memainkan peran yang semakin penting dalam hidup kita.

Titik Infleksi: Mengatur Dampak AI

Situasi saat ini merupakan titik infleksi. Seiring kekuatan dan pengaruh AI terus tumbuh, penting untuk menetapkan batasan dan peraturan yang jelas untuk mencegah bahaya, kekacauan, atau tindakan yang dapat menyebabkan penyesalan. Prinsip ini, yang dipinjam dari ChatGPT, menggarisbawahi perlunya pengembangan dan penerapan teknologi AI yang bertanggung jawab.

Menyelami Lebih Dalam Dilema Hukum dan Etika

Perdebatan seputar penggunaan materi berhak cipta dalam pelatihan AI bukan hanya masalah hukum; itu juga menyentuh pertimbangan etika mendasar. Pertanyaan apakah perusahaan AI harus diizinkan untuk mendapatkan keuntungan dari penggunaan tanpa izin karya kreatif adalah masalah keadilan dan penghormatan terhadap hak kekayaan intelektual.

Doktrin Penggunaan Wajar: Argumen Hukum yang Kompleks

Salah satu argumen hukum utama dalam perdebatan ini berkisar pada doktrin penggunaan wajar. Penggunaan wajar adalah prinsip hukum yang memungkinkan penggunaan terbatas materi berhak cipta tanpa izin dari pemegang hak cipta. Doktrin ini dimaksudkan untuk mempromosikan kebebasan berekspresi dan mendorong kreativitas dengan memungkinkan penggunaan transformatif tertentu dari karya berhak cipta.

Namun, penerapan doktrin penggunaan wajar dalam konteks pelatihan AI itu kompleks dan diperebutkan. Perusahaan AI sering berpendapat bahwa penggunaan materi berhak cipta oleh mereka termasuk dalam penggunaan wajar karena mereka menggunakan materi tersebut untuk menciptakan teknologi baru dan transformatif. Mereka berpendapat bahwa model AI tidak hanya mereproduksi karya berhak cipta, tetapi belajar dari mereka untuk menghasilkan output yang sama sekali baru.

Pemegang hak cipta, di sisi lain, berpendapat bahwa penggunaan karya mereka untuk melatih model AI adalah penggunaan komersial yang menghilangkan potensi pendapatan mereka. Mereka berpendapat bahwa perusahaan AI harus diharuskan untuk mendapatkan lisensi untuk materi berhak cipta yang mereka gunakan untuk pelatihan, sama seperti mereka untuk penggunaan komersial lainnya.

Dampak Ekonomi pada Penulis dan Penerbit

Dampak ekonomi dari pelatihan AI tanpa izin pada penulis dan penerbit adalah perhatian yang signifikan. Jika perusahaan AI diizinkan untuk menggunakan karya berhak cipta secara bebas tanpa kompensasi, itu dapat merusak insentif bagi penulis dan penerbit untuk membuat konten baru. Ini dapat menyebabkan penurunan kualitas dan ketersediaan karya kreatif, yang pada akhirnya merugikan masyarakat secara keseluruhan.

Selain itu, penggunaan materi berhak cipta tanpa izin dapat menciptakan lapangan bermain yang tidak merata di pasar. Perusahaan AI yang menggunakan karya berhak cipta tanpa izin akan memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan mereka yang mendapatkan lisensi atau membuat data pelatihan sendiri. Ini dapat menghambat inovasi dan menyebabkan konsentrasi kekuasaan di tangan beberapa perusahaan AI dominan.

Kebutuhan akan Transparansi dan Akuntabilitas

Transparansi dan akuntabilitas sangat penting untuk memastikan bahwa perusahaan AI menggunakan materi berhak cipta secara bertanggung jawab. Perusahaan AI harus diharuskan untuk mengungkapkan sumber data yang mereka gunakan untuk melatih model mereka. Ini akan memungkinkan pemegang hak cipta untuk memantau penggunaan karya mereka dan memastikan bahwa mereka diberi kompensasi dengan benar.

Selain itu, perusahaan AI harus bertanggung jawab atas setiap pelanggaran hak cipta yang terjadi sebagai akibat dari model AI mereka. Ini dapat mencakup tanggung jawab atas pelanggaran langsung, serta pelanggaran kontribusi jika model AI digunakan untuk membuat karya yang melanggar.

Menjelajahi Solusi Alternatif

Selain memperkuat undang-undang hak cipta dan mempromosikan transparansi, penting untuk menjelajahi solusi alternatif yang dapat membantu menyeimbangkan kepentingan perusahaan AI dan pemegang hak cipta.

Lisensi Kolektif

Lisensi kolektif adalah salah satu solusi potensial. Di bawah skema lisensi kolektif, organisasi manajemen kolektif (CMO) akan menegosiasikan lisensi dengan perusahaan AI atas nama pemegang hak cipta. CMO kemudian akan mendistribusikan royalti yang dikumpulkan dari lisensi ke pemegang hak cipta.

Lisensi kolektif dapat menyediakan cara yang lebih efisien dan efisien bagi perusahaan AI untuk mendapatkan lisensi untuk materi berhak cipta yang mereka butuhkan. Itu juga dapat memastikan bahwa pemegang hak cipta diberi kompensasi yang adil atas penggunaan karya mereka.

Data Sumber Terbuka

Solusi potensial lainnya adalah mempromosikan pengembangan set data sumber terbuka untuk pelatihan AI. Set data sumber terbuka adalah set data yang tersedia secara bebas bagi siapa saja untuk digunakan, dimodifikasi, dan didistribusikan.

Pengembangan set data sumber terbuka dapat mengurangi ketergantungan perusahaan AI pada materi berhak cipta. Itu juga dapat mempromosikan inovasi dan persaingan dalam industri AI.

Solusi Teknologi

Solusi teknologi juga dapat berperan dalam mengatasi tantangan hak cipta yang ditimbulkan oleh AI. Misalnya, teknologi pemberian merek air dapat digunakan untuk melacak penggunaan materi berhak cipta dalam pelatihan AI. Ini akan memungkinkan pemegang hak cipta untuk memantau penggunaan karya mereka dan mengidentifikasi contoh penggunaan tanpa izin.

Selain itu, teknologi AI dapat digunakan untuk mendeteksi dan mencegah pembuatan karya yang melanggar. Misalnya, alat bertenaga AI dapat digunakan untuk mengidentifikasi konten yang sangat mirip dengan karya berhak cipta.

Jalan ke Depan

Perdebatan seputar penggunaan materi berhak cipta dalam pelatihan AI itu kompleks dan beragam. Tidak ada jawaban mudah. Namun, dengan memperkuat undang-undang hak cipta, mempromosikan transparansi dan akuntabilitas, menjelajahi solusi alternatif, dan mendorong dialog terbuka antara perusahaan AI dan pemegang hak cipta, kita dapat menciptakan kerangka kerja yang menyeimbangkan kepentingan semua pemangku kepentingan dan mempromosikan inovasi sambil melindungi hak kekayaan intelektual. RUU Data (Penggunaan dan Akses) merupakan langkah penting ke arah ini, menawarkan jalan legislatif untuk mengatasi masalah mendesak ini dan membentuk masa depan undang-undang hak cipta di era digital. Keputusan yang dibuat sekarang akan memiliki konsekuensi abadi bagi industri kreatif dan pengembangan AI untuk tahun-tahun mendatang.